Minggu, 10 Juni 2012

Camila Vallejo dan Perjuangan Camila Valledjo dan Perjuangannya




                                                                              
                                                                                                                                       
 Malang, 20 November 2011

Saya mengenal Camilla Vallejo dari sebuah diskusi di ruang sempit laboratorium kebijakan Publik di kampus saya. Seorang teman, yang biasa kita sapa Phay, memperkenalkan saya kepada sosok Camila yang revolusioner.  Kemudian saya meng-googling-nya. Di umurnya ya masih sangat mudah, 23 tahun. Dia telah memimpin pejuangan. 

Saya sangat salut dan respect dengan perjuangan Camilla Vallejo. Tapi yang saya lebih respect adalah keberadaan orang-orang yang mau berbuat untuk perubahan walau  itu kecil, seperti seseorang yang rela menolong sesame tanpa di bayar sepeserpun. Bahkan mengorbankan gajinya  sendiri. Bisa nggak saya berbuat seperti itu?

Mungkin ini akibat dari rasa frustasi dari kegagalan saya, ketakberdayaan saya, dalam suatu organisasi yang pernah saya ikuti. Cita-cita  yang terlalu besar, mempelajari banyak hal ternyata tak bisa saya dapatkan, dan saya juga tak mampu memberikan apa-apa. Bukan salah siapa? Salah saya sendiri.
Memutusakan untuk menyudahinya. Menjadi mahasiswa kebanyakan. Saya pikir tiga tahun adalah waktu cukup lama untuk bermain-main dengan organisasi, memainkan emosi, walaupun itu sebenarnya tidak cukup. Tapi kalau memang stagnan dan sulit untuk berubah, apa yang mesti dipertahankan. I try to quit and wanna try another new thing. 

Mending saya ikutan diskusi-diskusi di luar saja, dari pada berada di rumah siput (dulu) semoga sekarang tidak lagi.  Apa yang mau saya cari di luar ketika forum diskusi sudah banyak yang tutup? Itu yang yang selelu menjadi pertanyaan yang membayang di benak saya. Sebentar lagi, saya akan lulus jadi sarjana, permintaan keluarga empat tahun sudah harus lulus. Sedangkan bekal pengetahun saya untuk menjadi seorang sarjana pun tak cukup. 

Ikut Nganty Wani, ternyata passion saya juga kurang kuat, saya takut untuk berjalan sendirian setelah turun dari angkot. Mencoba mengajak beberapa teman dan tidak berhasil. Kalau dulu mungkin saya masih  usahakan, tapi sekarang saya memutuskan untk berhenti. Karena saya sudah menemukan ruang diskusi di kampus sebagai penggantinya. Walaupun Nganti Wani waktunya lebih lama, lebih banyak hal yang bisa didiskusikan, tapi lumayanlah dari pada bengong di kosan, bergossip dan nonton drama korea (saya tidak bilang drama korea buruk, karena banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran di sana). I really thanks pada dosen yang menyediakan sedikit waktu dari waktu-waktunya yang padat untuk berdiskusi, memberikan vitamin kepada mahasiswa-mahasisiwa kurang vitamin seperi saya. Kemudian saya memikirkan kembali apa yang saya inginkan dalam hidup ini. 

Kagagalan mempelajari berbagai hal, termasuk mungkin kurangnya passion dari sendiri. Membuat saya kembali me-rethink apa yang bias saya lakukan untuk negeri ini even a lil thing? Sebagai Mahasiswa, mungkin (memang iya) saya tak banyak bisa berbuat,  termasuk dari jalur jurnalistik yang pernah saya pilih, yang awal mula ku pikir bakal bisa berbuat banyak.

Sekarang yang saya pikirkan adalah apa hal kecil yang bisa saya perbuat untuk negeri ini? Cita-cita saya adalah menidirikan perpustkaan yang bisa di akses semua orang, terutama anak-anak di daerah saya. Karena saya pikir, untuk memajukan suatu bangsa maka budaya membaca harus ditanamkan sejak kecil, agar ia bisa menjadi hobi. Kalau membaca sudah menjadi hobi ia sedikit bisa meredam ke adiktifan pada permainan modern. Waktu kecil saya suka membaca, tapi medianya kurang, karena saya tinggal di Desa.  bagaimana meningkatkan kesadaran membaca karena dengan membaca kita akan lebih memahami apa yang terjadi?

Rasa frustasi dan kecewa juga membayangi saya kepada orang yan berjuang dan berkoar-koar tapi tenyata malah terjerumus ke dalam banyangan gelap dari apa yang diperjuangkanhya. Saya frustasi kepada orang-orang yang pada tahun 1998  dan tahun-tahun perjuangan sebelumnya, menjadi seorang revoulusioner, tapi ketika ia ada dalam pemerintahan, berkuasa, malah ikut merampas hak rakyat untuk menambah pundi-pundinya pribadi maupun golongannya.

Mungkin, sebenarnya judul yang lebih tepat adalah " Camilla V. dan Saya"  Camilla yang pejuang sedangkan saya yang "pengecut"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar