Sabtu, 09 Oktober 2010

Ayah Tak Melihat Panci Tengkurap Lagi.

(saya masih belajar membuat cerpen, dan inilah hasilnnya? silahkan kasih masukan)

Di sebuah desa nelayan di kab Gresik di sanalah Aidi, yang baru masuk SMP tinggal bersama keluarganya. Desa itu bernama pasir panjang, kenapa di namai pasir panjang? Tak lain karena desa sepanjang 400m2 itu membentang di perkampungan berpasir yang cukup panjang menurut penduduk sekitar. Tidak seperti kampung nelayan yang lain yang sarat dengan kemiskinan. Kampung itu cukup makmur, hasil tangkapan selulu banyak Karena penghasilan nelayan rata-rata bersihnya sekitar Rp 100.00rb perhari. Tak jarang nelayan mendapatkan penghasilan sampai 1 juta perhari.

Ayah Aidi, orangnya pendiam dan kalem. Beliau orangnya suka mengalah, dan sepertinnya ibunyalah yang berkuasa di rumah. Ibu Aidi selalu memaksa ayah Aidi untuk mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Kalau ia mendengar bapaknya Adi, tetangga mereka dapat banyak tangkapan, ia selalu marah sama suaminya. ”Pak kenapa ikan nya dapat sedikit? Tuh…bapaknya Adi dapat banyak. Pasti bapak malas-malasan nangkap ikannya, makanya dapat sedikit.” Dan ekstrimnya kalau sang suami tak mendapatkan se-biji ikan pun dia akan menengkurapkan panic yang biasa dipakai untuk memasak, yang artinya tak ada nasi hari ini. Dan bapak akan pergi ke warung untuk makan. Karena biasanya bapak menyimpan sedikit uang, yang ia dapatkan dengan cara menyisihkan dari hasil penjualan ikan. Dan tentunya tampa sepengetahuan sang istri

Sudah beberapa hari ini ayah Aidi tak mendapat banyak ikan. Angin lagi tak bersahabat, hujan turun terus menerus, ombak sangat ganas. Dan sesuai dengan kondisi cuaca, ayah Aidi beberapa hari ini tak memperoleh tangkapan ikan. Sang ibu mulai memasang wajah cemberut. “kenapa sih pak akhir-akhir ini tak pernah bawa pulang ikan?, bahkan untuk lauk sendiri pun tak dapat. Kita mau makan apa pak?.” “Mau bagaimana lagi Bu, cuaca sekarang sedang buruk, ikan sulit di dapa,t bukan Cuma Bapak yang kesulitan dapat ikan, tapi nelayan yang lain pun demikian.” Tapi, Bu Muslih kemarin jualan ikan di pasar, itu berarti kan ikannya masih bisa di dapat. Bapak jangan alasan terus.” “Iya Bu, besok Bapak akan usahakan dapat hasil tangkapan. Seekor dua ekor.” Yah, jangan hanya seekor dua ekor dong! “. Iya Bu, iya, Bapak usahakan.”

Jam menunjukkan pukul 04.00 ketika ayah Aidi bangun, kemudian beliau bersiap-siap, menyiapkan semua peralatan melaut. Setelah sholat Subuh dan semua peralatan siap, iya pun pamitan kepada kedua anak serta istrinya. Tak lupa ia mencium kening kedua anaknya. Ciuman itu merupakan ciuman terdalam yang ia lakukan. Tanpa terasa airmatanya meleleh. “Bu’ Titip anak-anak yah! Jaga mereka baik-baik. Ibu juga baik-baik di rumah.”

Tiba-tiba perasaan bu Aidi pun tak enak, ia bertanya dalam hati, “kenapa bapak bilang seperti itu?, biasanya bapak cuma pamit dan tidak bicara seperti itu.” Selang beberapa jam setelah kepergian ayah Aidi, tiba-tiba hujan deras pun turun, angin bertiup kencang, dan suara ombak pun terdengar bergemuruh menandakan kalau ia sedang mengamuk. Tanpa terasa waktu telah bergerak, hari pun mulai beranjak petang, hujan telah berlangsung sepanjang hari dan belum menunjukkan akan berhanti.
Jam telah menunjukkan jam 10.00 malam, tapi tanda-tanda kalau ayah Aidi akan pulang pun tak kunjung ada. Tiba-tiba perasaan tak enak pun membayangi bu Aidi, ia mulai gelisah. “Aidi, nak bangun, hari sudah sangat malam tapi Bapak belum datang, mari kita cari Bapak, mungkin kita bisa tanya ke nelayan yang lain, yang juga pergi melaut tadi pagi.” Mereka pun bergegas pergi mengunjungi rumah para nelayan, rumah pertama yang mereka kunjungi adalah rumah Bu Muslih. “Maaf Bu, saya memang sempat ketemu beliau dan ketika badai datang saya mengajak beliau untuk segera menepi, tapi beliau mempersilahkan saya pulang duluan”.
Kemudian mereka menuju rumah pak Tono, “maaf Bu, saya tadi pagi tidak berangkat melaut, saya tidak enak badan.” Dan ketika mereka menemui nelayan yang lain semuan jawabanya yang mereka dapatkan sama seperti yang Pak Muslih berikan, atau mereka tidak berjumpah dengan ayah Aidi di laut. Perasaan bersalah mulai mendera ibu Aidi, Ia merasa bersalah telah memaksa Ayah Aidi untuk melaut. Akhirya ia memutuskan untuk melapor ke kepala dusun. “Coba Ibu tanyakan kepada para nelayan, siapa tau mereka bertemu ketika sedang melaut”. “Maaf Pak, saya sudah menanyakan kepada semua nelayan di daerah kita ini Pak, tapi mereka bilang kalau mereka memang ketemu, tapi mereka pulang duluan. Sedangkan mereka bilang, Bapaknya Aidi tetap bertahan di laut, walaupun badai sedang mengamuk.

“Yah sudah Bu’ kita tunggu saja sampai besok kalau sampai besok belun datang juga saya akan mengajak warga untuk mencari informasi ke daerah yang lain, menanyakan kepada pada para nelayan yang lain, dan kalau pun tetap tak ada kabar, akan saya ajak sebagian warga untuk melakukan pencarian di laut, siapa tau beliau terombang-ambing di laut lepas, sekarang Ibu pulanglah dulu, berdoalah kepada Allah, semoga besok kita bisa menemukan Bapak dalam keadaan selamat dan sehat walafiat.”
Hari demi hari telah berlalu, tak terasa sudah satu minggu diamana ayah Aidi menghilang di laut lepas, berbagai upaya telah dilakukan masyarakat setempat untuk mencarinya, mulai dari mencari sendiri sampai melapor ke yang berwajib. Tapi pencarian itu terasa sia-sia karena sampai sekarang beliau belum di temukan. Bukan main hancur hati Aidi menerima kenyataan ini. Terbayang sudah mas depanya yang mulai muram, dengan menghilangnya orang yang selama ini membiayai kehidupan mereka, maka secara otomatis ia akan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap adik-adiknya dan membantu ibunya bekerja .Apalagi ibunya suka marah-marah. Dan ia lebih suka anaknya bekerja dari pada melanjutkan sekolah.